Personal Branding Tips (Part 1): Cara Terbaik Membangun Keahlian dan Status Sebagai Ahli di Suatu Bidang!

By // No comments:
Motivator Mario Teguh pernah berwasiat, "Kita sukses bukan karena orang-orang yang kita kenal, melainkan karena orang-orang yang mengenal kita."

Itulah pentingnya membangun personal branding. Personal branding adalah cara kita memperkenalkan diri pada orang lain, terutama pada orang-orang yang memang penting untuk kita. Sebab merekalah yang akan membuat kita sukses. Sebagaimana ungkapan Mario Teguh di atas.
Personal Branding Tips (Part 1): Cara Terbaik Membangun Keahlian dan Status Sebagai Ahli di Suatu Bidang!

Perihal personal branding, -apa itu, apa keuntungannya, bagaimana membangunnya- sudah kita kupas habis pada artikel sebelumnya di sini;

--> 7 Langkah Jitu Membangun Personal Branding.

Nah, kali ini adalah seri lanjutan dari artikel tersebut. Yakni bagaimana membangun kredibilatas di bidang yang memang kita lakoni. Kredibilitas ini pentingnya bukan main. Dengan kredibilitas kita membangun semacam authority di bidang tersebut. Sehingga orang bisa percaya dengan kita, mendengarkan kita, dan pada akhirnya memilih untuk membayar produk/jasa yang kita sediakan pada mereka.

Misalkan anda lagi sakit kepala. Kemudian ada seseorang yang merekomendasikan untuk meminum obat A. Sebaliknya anda kebetulan bertemu dengan dokter ahli yang sangat terkenal, dan ia merekomendasikan obat B. Nah, pertanyaannya mana yang anda dengarkan nasehatnya? Jelas si dokter ahli. Sebab dia punya authority atau pengaruh di bidang tersebut.

Nah, demikian pulalah tujuannya personal branding tips pada artikel kali ini. Bukan hanya kita membangun keahlian, tapi juga membangun pengaruh sebagai ahli yang memang perlu didengarkan di bidang kita. Silahkan baca apik-apik... :)

Filsuf Romawi, Seneca pernah berujar, “While we teach, we learn!” Ketika kita mengajar, kita juga belajar. katanya.

Selama bertahun-tahun orang-orang bijak meyakini bahwa cara terbaik untuk menguasai sesuatu adalah dengan mengajarkannya kepada orang lain. Maka jika anda ingin menjadi yang terbaik di bidang anda,  anda harus mengajarkannya kepada orang lain.

Dalam sebuah artikel yang dirilis oleh Time.Com, berjudul “The Protégé effect, Why teaching someone else is the best way to learn” mengungkapkan hasil riset yang membuktikan bahwa murid-murid yang diminta untuk menjadi tutor bagi murid-murid junior lainnya, terbukti berhasil mendapatkan nilai yang lebih baik dalam mata pelajaran tersebut, daripada teman-temannya yang belajar secara sendiri.

Mengajar adalah cara terbaik untuk menguasai suatu bidang. Dan ini adalah lompatan yang luar biasa bagi karier anda. Mungkin sama saja dengan sedekah, ketika anda memberi maka anda akan menerima lebih banyak.

Namun mengajarkan atau membagikan ilmu kita, selain kita menjadi tambah pintar, ternyata juga memiliki dampak lain yang sangat-sangat powerful. Apa itu?

Branding!

Dengan mengajar, anda serta merta membangun brand (citra diri) sebagai ahli. Dan dalam sekejap, anda akan benar-benar menjadi ahli di bidang anda. Katakanlah anda seorang akuntan di sebuah perusahaan swasta kelas menengah. Dengan hanya menjalankan tugas anda sehari-hari saja, maka anda akan tetap menjadi akuntan di perusahaan tersebut. Atau kalaupun ada peningkatan, pasti butuh waktu yang lama.

Tapi bayangkan, kemungkinan ini.

Di samping melakukan tugas anda dengan baik, anda juga mengajarkan ilmu akuntan yang anda miliki tersebut kepada orang lain. Ada banyak cara, misalnya anda menjadi relawan pengajar di kelas kursus akuntansi. Atau bahkan anda bisa membuka kursus atau tutoring akuntasi bagi murid-murid atau mahasiswa-mahasiswa akuntansi.

Atau sebuah cara yang lebih hebat lagi, anda bisa menulis buku semisal “Prinsip Dasar Akuntansi Terbaik Bagi Perusahaan Kelas Menengah.” Atau anda bisa menulis blog tentang akuntansi, dan kemudian ketika ada pemimpin perusahaan besar yang melihat blog anda, dan tertarik merekrut anda menjadi manager akuntasi di perusahaannya? Bukankah itu sebuah pintu peluang yang luar biasa besarnya?

Dengan begitu, menurut anda seberapa besar lompatan pencapaian yang anda ciptakan? Luar biasa!

Baca Juga:
Demikianlah dahsyatnya mengajarkan ilmu kita. Sehingga dalam Qur’an sendiri Allah begitu menyanjung orang-orang berilmu yang mengajarkan ilmunya kepada orang lain.

Teaching is Learning! Teaching is Branding!

Membangun Jiwa Optimisme; Perlukah Benar-benar Berhenti Menonton dan Membaca Berita?

By // No comments:

Membangun sikap optimisme adalah salah satu katalis kunci untuk membangun kesuksesan. Sebagaimana yang pernah kita kulik pada tulisan “Ubah Hidupmu, Dengan Mengubah Mentalitasmu.” Bahwa bagaimana mentalitas penuh optimisme membentuk karakter kita sebagai pribadi. Karena itu setiap insan dituntut untuk senantiasa menjaga api optimisme dalam dirinya masing-masing.

Permasalahannya, di dunia yang penuh hiruk pikuk dan hingar bingar ini, sangat mudah menemukan hal-hal yang membuat kita justru bermental pesimis. Berita-berita yang muncul di TV, Koran dan Internet kebanyakan bernada negatif dan menyebarkan virus pesimisme. Waduh…!

Saya pernah membaca sebuah buku yang menganjurkan agar kita berhenti total menonton berita di TV dan membaca koran. Alasannya sederhana, tentu agar tidak terjangkit virus pesimisme dari berita-berita negatif yang mereka suguhkan.
Membangun Jiwa Optimisme; Perlukah Benar-benar Berhenti Menonton dan Membaca Berita?
Nah, apakah memang perlu bagi kita untuk berhenti total menonton dan membaca berita?

Sembari duduk manis dan ngopi asyik di kamis sore ini, mari kita coba untuk mengulik teka-teki tersebut.

Dari yang setiap hari kita lihat, berita-berita yang muncul cenderung selalu bernada negatif. Bahkan berita yang negatif itu cenderung lebih disukai penonton televise. Semakin negatif dan provokatif beritanya semakin tinggi ratingnya.

Sayangnya, menurut para pakar, media-media berita khususnya yang berasal dari televisi, sangat berdampak mempengaruhi pola pikir dan karakteristik seseorang.

Dengan fakta yang sedemikian, maka tidak ada cara lain selain mengontrol diri kita sendiri dalam memilih dan memilah tayangan dan bacaan yang baik untuk kesehatan mindset kita. Membaca dan menonton hal-hal negatif akan membuat kita punya otak lama kelamaan juga akan menjadi negatif dan pesimis.

Apakah harus berhenti menonton dan membaca berita?

Ya kembali kepada diri dan pemikiran masing-masing. Saya sampai detik ini masih membaca berita, tapi saya dengan tegas memilih untuk tidak memilih berita-berita negatif. Masih banyak sumber-sumber bacaan dan tontonan yang bisa memberikan inspirasi positif bagi kita. Saya lagi tidak promosi, tapi saya masih senang dengan acara-acara dan media seperti Kick Andy, Good News Today, GNFI, dan masih banyak lagi.

Media punya power yang sangat luar biasa dalam membentuk karakteristik suatu bangsa. Karena itulah sebagai anak bangsa, adalah keniscayaan bagi kita untuk memilih menyimak berita-berita yang bisa menumbuhkan harapan baik. Akan kemajuan dan kesuksesan di hadapan mata kita.

Bukan berarti kita menjadi acuh dan tidak peduli dengan tindakan kriminalitas, korupsi dan sebagainya. Semua itu bisa kita lawan dengan terlebih dahulu tidak menjadi penikmat berita-berita negatif. Cara lain yang lebih positif yang bisa kita lakukan adalah memberikan kepercayaan dan dukungan penuh kepada pemerintah dan pihak berwenang untuk menyelesaikan hal ini.

Kita pun bisa bergabung atau membentuk komunitas-komunitas positif yang bekerja untuk mengkampanyekan kegiatan-kegiatan dansikap-sikap baik kepada masyarakat luas. Katakanlah misalnya gerakan Indonesia Mengajar, atau gerakan inspiratif lainnya.

Demikianlah sekelumit sajian hangat yang singkat ini saya suguhkan di sejuknya kamis sore ini. (sebab memang disempat-sempatkan ditengah kesibukan. Jadi maaf jika kurang panjang. Insya Allah postingan selanjutnya akan panjang).

Semoga ada manfaatnya. Jangan lupa komen untuk menyalurkan pendapat anda ya…

Benarkah Pikiran Kita Lebih Mudah Terjebak Dalam Kondisi Negatif Ketimbang Kondisi Positif?

By // No comments:
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari kerap kali kita harus menghadapi berbagai tantangan. Tak jarang tantangan-tantangan yang ada itu bisa membuat kita terjebak dalam sembilu negatifitas. Sampai-sampai bikin stress yang tak berkesudahan.

Dulu ketika pertama kali membaca buku-buku motivasi dan inspirasi tentang kesuksesan, dengan seketika semangat dan mentalitas positif seperti tertular ke dalam diri saya. Saya menjadi begitu positif menjalani kehidupan.

Tapi ketika kegagalan dan kebangkrutan datang memporak-porandakan kehidupan, saya pun menjadi sedih dan terjebak dalam perasaan negatif. Tidak berdaya dan frustasi. Namun dalam hati saya selalu membatin, "Ah... semua ini pasti akan berlalu."

Ternyata hingga masalah inipun berlalu, pikiran saya seperti terjebak dalam kondisi berpikir negatif. Entah mengapa sangat sulit bagi pikiran saya untuk bisa berpikir positif, semangat dan antusiasme seperti dulu lagi? Apa yang terjadi? Mengapa kondisi negatif sepertinya lebih mudah mempengaruhi pikiran saya daripada keadaan yang positif?
Benarkah Pikiran Kita Lebih Mudah Terjebak Dalam Kondisi Negatif Ketimbang Kondisi Positif?
img from: www.sciencedaily.com

Hal ini membuat saya bertanya-tanya benarkah demikian? Benarkah pikiran kita lebih mudah terjebak dalam kondisi negatif daripada kondisi positif?

Teka-teki itulah yang akan coba kita kupas habis pada tulisan renyah di sejuknya kamis sore ini. Semoga sedikit banyak kita bisa mengambil pelajaran pun inspirasi darinya.

Sebuah penelitian dilakukan oleh Alison Ledgerwood untuk mencari tahu jawaban pertanyaan tersebut. Alison Ledgerwood adalah seorang Psikolog Sosial. Yang berarti bahwa ia adalah seorang pengamat manusia. Latar belakang hingga akhirnya ia melakukan penelitian tersebut juga karena apa yang terjadi dalam karirnya sebagai seorang psikolog.

Sebagai seorang psikolog ia banyak membuat paper-paper hasil penelitian. Ketika paper-paper tulisannya diterima, ia menjadi bahagia. Dan setelah itu kembali normal menjelang makan siang. Suatu hari ketika papernya ditolak, ia menjadi begitu sedih. Tapi berbeda dengan perasaan positif ketika papernya di terima, perasaan negatif ini bertahan jauh lebih lama lagi. Perasan sedih itu menggelayuti bahkan sampai berhari-hari.

Bahkan ketika papernya yang lain diterima, perasaan positif itu tidak kunjung bergerak naik.



Maka diadakanlah penelitian untuk mencari tahu hal tersebut. Benarkah orang lebih mudah menjadi negatif daripada menjadi positif?

Bersama dengan rekan-rekannya, ia mengumpulkan beberapa responden untuk diuji. Responden dibagi ke dalam dua grup. Dan masing-masing grup dijelaskan sesuatu yang sama yakni tentang sebuah alat medis yang baru. Tapi dengan cara penyampaian yang berbeda.

Grup pertama dijelaskan bahwa alat medis ini memiliki tingkat kesuksesan terhadap kesembuhan pasien sebesar 70%. Sementara responden di grup kedua dijelaskan bahwa alat medis baru ini memiliki tingkat kegagalan sebesar 30%. Dan ternyata hasilnya orang-orang di grup pertama menyukai alat medis baru ini. Sementara orang-orang di grup kedua tidak menyukainya.
Tapi kemudian pernyataannya dibalik. Grup pertama dijelaskan lagi bahwa dengan 70% kesuksesan artinya ada tingkat kegagalan sebesar 30%. Maka dengan serta merta mereka menjadi tidak suka dengan alat baru ini.

Pada grup kedua juga dijelaskan hal yang sama. 30% kegagalan berarti ada tingkat kesuksesan sebesar 70%. Dan berbeda dengan responden di grup pertama, orang-orang di grup kedua tidak berubah sama sekali. Mereka tetap tidak menyukai peralatan medis baru ini.


Eksperimen kedua kemudian dilakukan kembali. Dengan pola yang persis sama dengan eksperimen pertama. Responden dibagi ke dalam 2 grup dan dijelaskan tentang suatu hal yang sama tapi dengan cara yang berbeda. Kini responden diberitahu mengenai kinerja pemerintah dalam menangani pengangguran.

Pada grup pertama orang diberitahu bahwa tahun ini pemerintah berhasil menyediakan lapangan pekerjaan dan berhasil menurunkan tingkat pengangguran sebesar 40%. Dan orang-orang menyukainya. Mereka berpikir pemerintah telah berhasil.

Di grup kedua, disampaikan bahwa tahun ini masih ada 60% pengangguran yang belum dipekerjakan. Dan orang-orang menjadi tidak suka dengan pemerintah.

Pernyataannya kemudian kembali dibalik. Di grup pertama disampaikan bahwa masih ada 60% pengangguran yang belum dipekerjakan. Dan orang-orang lagi-lagi menjadi tidak suka. Di grup kedua, juga disampaikan bahwa setidaknya pemerintah berhasil mengurangi tingkat pengangguran sebesar 40%. Tapi tidak ada bedanya dengan percobaan pertama, orang-orang pun tetap tidak suka dengan pemerintah.

Dari dua hasil eksperimen ini menunjukkan bahwa nampaknya memang benar pikiran kita lebih mudah terjebak dalam situasi negatif ketimbang situasi positif. Orang-orang lebih mudah memandang gelas sebagai setengah kosong, daripada memandangnya sebagai setengah penuh.

Maka dilakukanlah eksperimen ketiga. Kali ini, eksperimen itu ditujukan untuk mencari tahu seberapa mudah orang merubah pikiran dari negatif ke positif dan begitupun sebaliknya. Kembali responden dibagi ke dalam dua grup. Dan diberitahu mengenai tingkat kesuksesan sebuah operasi penyakit kanker.

Grup pertama diberi pertanyaan sederhana. Jika 600 orang penderita kanker, dan 100 orang dapat diselamatkan nyawanya melalui operasi, maka berapa orang yang akan meninggal? Artinya orang-orang ini akan berpikir dari kondisi positif ke kondisi negatif. Dari yang diselamatkan ke yang meninggal.

Di grup kedua pertanyaanya dibalik, jika dari 600 orang itu meninggal 100 orang. Maka berapa orang yang akan berhasil diselamatkan? Artinya disini, orang berpikir dari kondisi negatif ke positif. Dari orang yang meninggal kepada orang yang diselamatkan.

Jawaban kedua pertanyaan itu sama. Yakni 600 - 100 = 500. Tapi ternyata waktu yang dibutuhkan oleh kedua grup berbeda.



Orang-orang di grup pertama, yang berpikir dari kondisi positif ke kondisi negatif, butuh waktu sekitar 7 detik untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sementara orang di grup kedua, yang bergerak dari kondisi negatif menjadi positif, butuh waktu sekitar 11 detik.

Ini menunjukkan bahwa begitu kita memikirkan sesuatu sebagai kondisi negatif, cara berpikir semacam itu akan merasuk di benak kita dalam waktu yang lama. Sampai kita berusaha sekuat tenaga untuk mengubahnya.” Kata Alison.

Sementara itu, berikut grafik pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kepercayaan konsumen dari tahun 2007 sampai tahun 2010.




Ketika pertumbuhan ekonomi terjun bebas ke bawah, kepercayaan konsumen pun menurun drastis. Tapi ketika kondisi ekonomi sudah kembali pulih, kepercayaan konsumen tidak kunjung memantul ke atas mengikuti grafiknya. Justru kepercayaan konsumen seperti terjebak di level yang rendah.

Semua ini sekali lagi bukti bahwa pikiran kita lebih mudah menangkap kondisi negatif ketimbang kondisi positif. Sangat mudah untuk beralih dari kondisi positif ke kondisi negatif. Tapi untuk bisa bangkit dari kondisi negatif ke kondisi positif, dibutuhkan tenaga dan usaha yang tidak sedikit. Kita harus bersaha lebih kuat agar bisa melihat sesuatu dengan cara yang positif.

Namun meski begitu, bukan mustahil untuk menjadi orang yang berpikir positif. Kita bisa melatih pikiran kita untuk terbiasa melihat gelas sebagai setengah penuh. Bukan setengah kosong.

Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk itu. Salah satunya yang paling efektif, menurut para pakar adalah dengan bersyukur. Sebuah penelitian lain menunjukkan bahwa hanya dengan menulis hal-hal positif yang terjadi dalam hidup kita setiap harinya, bisa secara dramatis mempengaruhi pola pikir kita menjadi pola pikir positif.

Baca juga:
Bersyukur adalah emosi manusia yang paling sehat.” Demikian kata motivator ternama Zig Ziglar. Orang-orang yang punya kebiasaan bersyukur dipagi hari, menurut hasil riset, cenderung lebih kuat dan tangguh dalam menjalani tantangan demi tantangan kehidupan.

Demikian tulisan renyah dan bergizi pada kamis sore ini. Mudah-mudahan bisa menyuntikkan wawasan sekaligus semangat baru ke dalam diri pembaca sekalian. Bahwa kita senantiasa menggodok kebiasaan bersyukur dan berpikir positif dalam hidup ini. Sehingga kita semua bisa hidup dengan lebih positif, sehat dan powerful.

Berpikir positif dalam hidup memang sulit. Tapi lebih sulit hidup tanpa berpikir positf. Jangan lupa masukkan email anda di kolom berlangganan di samping, agar memastikan anda tidak ketinggalan artikel bergizi selanjutnya