Meraih Sukses Dengan Kecerdasan Emosional. Menjadi Mulia Dengan Kecerdasan Spiritual.

By

Pada tahun 1905, Ilmuwan prancis Alfred Binet, menemukan cara dan alat untuk mengukur tingkat kesuksesan manusia dengan apa yang disebut dengan Intelligence Quotient (IQ). IQ ini sekaligus dianggap sebagai faktor utama yang menentukan tingkat kesuksesan seseorang kala itu. Semakin tinggi IQ-nya maka semakin sukseslah ia dalam hidupnya.

IQ atau Kecerdasan Intelektual terletak pada funsi otak Neocortex. Fungsi ini berbicara tentang seberapa baik otak kita menghafal informasi. Pun terkait dengan kemampuan matematis. Istilah mudahnya seberapa luas wawasan atau kompetensi yang dimiliki. Semakin tinggi IQ-nya maka semakin luas wawasannya, semakin luas wawasannya, maka semakin pintar ia. Semakin pintar ia maka pintu kesuksesan akan terbuka semakin lebar untuknya.

Meraih Sukses Dengan Kecerdasan Emosional. Menjadi Mulia Dengan Kecerdasan Spiritual. Tentang Emotional Intelligence

Hal itulah yang diyakini orang dari dulu, bahkan pada beberapa orang masih diyakini sampai sekarang. Baru pada tahun 1995, orang mulai menyadari bahwa ada jenis kecerdasan lain yang menentukan tingkat kesuksesan seseorang. Yakni ketika Daniel Goleman pertama kali memperkenalkan istilah Emotional Intelligence (EQ) melalui bukunya yang berjudul Working With Emotional Intelligence.

EQ atau kecerdasan emosional terletak pada limbic system. Yang berkaitan dengan kondisi mental dan emosi seseorang. Meliputi kemampuan untuk berempati, keterampilan sosial, mengendalikan diri sendiri, bangkit dari kegagalan, kesabaran, integritas, menjaga semangat positif dan lain sebagainya.

Melalui Emotional Intelligence, Daniel Goleman membuktikan bahwa berwawasan saja tidaklah cukup untuk menjadi sukses. Tapi dibutuhkan kemampuan untuk mengendalikan diri dan emosi. Lebih-lebih dibutuhkan skill dan kemampuan untuk berpikir. Yakni mengelola informasi atau wawasan yang dimilikinya untuk mengambil tindakan.

Kecerdasan emotional inilah yang disebut-sebut jauh lebih penting dari kecerdasan intelektual dalam meraih kesuksesan. Tak tanggung-tanggung, para pakar menyebutkan bahwa EQ menentukan hingga 80-90% kesesuksesan seseorang. Sementara IQ hanya berperan paling banyak 8-20% saja.

Baca juga: Ubah Hidupmu Dengan Mengubah Mentalitasmu!

Sistem Pendidikan Kita Yang… Kiri!

Sayang, nampaknya sistem pendidikan di sekolah kita tidak mengajarkan tentang kecerdasan emotional ini. Kita hanya dilatih semata-mata untuk meningkatkan kecerdasan intelektual. Setiap hari kita hanya disuruh menghafal rumus, tahun kejadian dalam sejarah, sampai-sampai pelajaran yang paling terkait EQ sekalipun kita hafal. Adalah menggambar. Bukannya melatih kita untuk kreatif, kita malah menghafal. Menggambar pemandangan kita hafal. Pasti polanya selalu sama. Gunungnya ada dua. Ditengahnya ada matahari. Kemudian di depan gunung ada jalan yang miring ke kanan. Disamping jalan itu ada sawah dan rumah-rumah.
 
gambar pemandangan
img from: kaskus.com
Begitulah sistem pendidikan kita selalu hanya menitikberatkan pengembangan kecerdasan intelektual semata. Kita disuruh menghafal bukannya berpikir. Kita lebih banyak diberi tugas mengingat rumus, ketimbang membuat esai. Sementara sisi-sisi yang mengembangkan kecerdasan emosional sama sekali tak tersentuh.

Hasilnya, kita semua jago dalam urusan kecerdasan intelektual. Kita demikian pintar dalam menghafal ilmu pengetahuan. Namun seiring kepintaran itu kita dihinggapi perasaan sombong, merasa diri paling benar, enggan berempati dan lain sebagainya. Yang mengindikasikan tidak berkembangnya kecerdasan emosional dalam diri kita.

Semakin tinggi sekolahnya,” Kata Motivator Otak Kanan Ippho Santosa, “Maka semakin kiri otaknya. Karena itu perguruan tinggi diplesetkan menjadi perguruan kiri. Hanya pada sekolah taman kanak-kanak saja yang banyak menaruh perhatian pada pengembangan otak kanan. Karena itu taman kanak-kanak dipelesetkan menjadi taman kanan-kanan.”

(Hehe… memang beliau ini dikenal sebagai pakar otak kanan dan kreativitas. Salah satu sifat otak kanan adalah humoris dan kreatif.)

Dualisme Otak Kanan Vs. Otak Kiri

Otak kanan memang dikenal terkait dengan fungsi kreatifitas, ituisi, linguistik dan termasuk di dalamnya segala hal yang terkait dengan kecerdasan emosional. Sementara hemisfer otak kiri sangat terkait dengan kecerdasan intelektual. Segala sesuatu yang mencakup fungsi matematis, analisis, hafalan dan perincian.

Antara kedua otak kiri dan otak kanan itu keduanya sama-sama dibutuhkan. Hanya saja, sekali lagi, sistem didikan dan pengajaran disekolah selalu menitikberatkan pada pengembangan otak kiri semata. Hasilnya kebanyakan orang lebih kuat otak kirinya.

Padahal sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, agar sukses dibutuhkan 80% peran Kecerdasan emosional (otak kanan) dan hanya dibutuhkan sekitar 20% saja peran kecerdasan intelektual (otak kiri).

otak kiri vs otak kanan
img from: blog.mindjet.com
Kenapa demikian banyak orang yang takut membuka usaha? Sebab menurut Jaya Setiabudi dari Young Entrepreneur Academy (YEA), kebanyakan orang mendahulukan hitung-hitungan. Kalau perencanaannya belum matang, maka ia akan takut melangkah. Hasilnya usahanya tidak pernah buka-buka.

Bisnis yang baik adalah bisnis yang dibuka dan dijalankan. Bukan hanya yang direncanakan dan ditanyakan.” Demikian peringatan Mas Jaya Setiabudi.

Banyak orang yang gagal, sebab mereka terlalu pintar dalam menghitung kegagalan. Tapi tidak pernah bertindak. Menghitung adalah bagian IQ. Bertindak adalah pekerjaan EQ. Kita lihat para professor bisnis, terlalu jago dalam hal hitung-hitungan bisnis. Tapi kenyataannya mereka bukan pebisnis. Mereka tidak punya bisnis. Mereka tahu dan paham data-data yang menunjukkan bahwa bisnis akan gagal. Sebaliknya datang seseorang yang hanya lulusan SMP, yang tidak peduli dengan hitung-hitungan dan data. Apa yang ia lakukan hanyalah Action. Bertindak. Tanpa takut gagal tanpa takut rugi. Seiring berjalannya bisnis dan waktu, ia mulai memperbaiki hitung-hitungannya. Ketika gagal, ia tidak menyerah (peran EQ). Ia bangkit. Demikian seterusnya hingga ia akhirnya sukses menjadi salah satu pengusaha terkaya di negerinya. Orang-orang seperti ini terlalu banyak contohnya disekitar kita. Salah satu yang kita kenal adalah Bob Sadino yang tidak tamat SD.

Orang goblok selalu mau belajar. Dan tidak takut salah. Orang pintar malu dan gengsi untuk belajar. Ketika sukses, orang goblok mempekerjakan orang pintar.” Demikian yang selalu diungkapkan Bob Sadino.

Lebih Pintar dari Albert Einstein

Dalam buku Outliers, Malcolm Gladwell menceritakan kisah seorang pemuda yang bernama Christopher Langan. Christopher Langan adalah orang yang disebut-sebut sebagai orang paling pintar di Amerika. Jika, Albert Einstein punya IQ 150. Maka Chris IQ-nya 195. Bayangkan betapa pintarnya ia.

Langan sudah bisa bicara ketika usianya baru 6 bulan. Pada usia 3 tahun, ia mampu belajar membaca dengan sendirinya. Pada usia 5 tahun ia sudah mempertanyakan tentang keberadaan Tuhan. Jika ia menggambar dengan asal-asalan hasilnya akan seperti photografi. Ia mampu menguasai fisika, kimia, matematika, bahasa prancis, bahasa rusia dan masih banyak lagi dalam usia remaja.

Tapi apakah ini berarti bahwa ia akan sesukses Albert Einstein? Atau bahkan lebih sukses?

Einstein punya IQ 150. Langan 190. ” Tulis Gladwell, “ IQ Langan 30% lebih tinggi dari Einstein. Tapi itu tidak berarti Langan 30% lebih cerdas dari Einstein.”

Faktanya adalah sepanjang hidupnya Christopher Langan hanya menjadi petani. Ia tidur di kandang peternakan kuda. Ia menguasai sekian banyak ilmu pengetahuan, tapi tidak memberikan dampak apa-apa kepada dunia. Ia tidak pernah menciptakan karya apa-apa. Ia tidak pernah mengadakan seminar atau publikasi apa-apa. Ia bahkan gagal dua kali dalam kuliahnya.

Ketika Kecerdasan Membawa Manfaat Kepada Yang Lain…

Nampaknya sudah jelas bagi kita bahwa kesuksesan tidak cukup hanya dengan bermodal pintar dan berwawasan luas semata. Dibutuhkan jenis kecerdasan lain yakni kecerdasan emosional. Atau apa yang disebut ilmuwan Robert J. Strenberg, sebagai “Practical Intelligence.” Yakni kemampuan untuk mengetahui dan mengelola informasi atau wawasan yang dimiliki untuk mengambil tindakan praktis.

Pengetahuan adalah bahan mentah informasi. Ketika bahan mentah itu kita olah menjadi sesuatu hal yang mendatangkan kesuksesan, itulah yang disebut dengan berpikir. Itulah yang dilakukan Bob Sadino. Tapi tidak dilakukan Chris Langan.

Kecerdasan emosional ini sudah cukup mengantarkan seseorang ke pintu gerbang kesuksesan. Tapi pertanyaan selanjutnya, bagaimana jika kecerdasan emosional ini digunakan untuk kepentingan-kepentingan tidak baik?

Seorang koruptor, seorang bos mafia, dan bandar narkoba kelas kakap, pun pastinya memiliki kecerdasan emosional yang mendukungnya meraih apa yang ia inginkan. Kesuksesan materi. Jadi apakah cukup hanya dengan kecerdasan emosional semata?

Tentu tidak! Sebab kita tidak ingin menjadi orang yang demikian. Kita juga ingin menjadi orang baik. Yang bermanfaat untuk orang lain. Sebagaimana kata Tony Robbins, “Life is not only about achievement. But also about fulfillment.” Hidup tidak hanya tentang menjadi sukses, tapi juga menjadi bermanfaat.

Kita ingin menjadi seperti Muhammad Yunus, yang rela miskin dan susah demi membantu orang-orang miskin di negaranya. Ia bahkan menjaminkan dirinya agar bank-bank mau mengucurkan kredit kepada para orang miskin ini. Ia tidak takut merugi dan tertipu. Niatnya semata-mata hanyalah untuk membantu orang lain. Hingga akhirnya karena hal itu, ia meraih kesuksesan dan penghargaan yang nilainya jauh lebih tinggi lagi. Setelah bergumul dengan ribetnya regulasi bank-bank yang ada, Ia akhirnya membuka banknya sendiri. Yang dikhususkan untuk memberikan bantuan modal usaha bagi orang-orang miskin. Tanpa regulasi yang njelimet, tanpa perlu agunan, ia telah menjangkau lebih dari 47.000 desa miskin di Bangladesh melalu lebih dari 1.200 cabang banknya. Dan karena itu, ia diganjari penghargaan nobel perdamaian.

Inilah contoh orang yang tidak hanya sekedar sukses dengan kecerdasan Emosional. Tapi juga, meminjam istilahnya Jamil Azzaini, menjadi manusia sukses mulia. Yang rela mati demi kebenaran. Rela miskin demi mengutamakan kepentingan sesama. Rela berjuang dijalan Tuhan.

Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain.” -Muhammad SAW, 15 Abad silam.

Nah, tepat pada titik itulah kita membutuhkan jenis kecerdasan ketiga. Yakni; Kecerdasan Spiritual.

Apa itu Kecerdasan Spiritual (SQ) dan bagaimana peranannya?

Kecerdasan Spiritual (SQ) baru ditemukan pada sekitar tahun 2000 melalui serangkaian penelitian ilmiah. Salah satunya adalah penelitian V.S. Ramachandran dari Universitas Kalifornia. SQ terletak pada fungsi otak Temporal Lobe. Atau yang disebut juga dengan God Spot.

God spot atau saya lebih senang menyebutnya dengan Hati Nurani, nampaknya adalah bagian dimana kita terhubung langsung dengan Tuhan. Melalui hati nurani ini, Tuhan berkomunikasi dengan diri kita.

Spiritual Quotient
img from: topteen.in
Itulah mengapa sebagian orang mengatakan bahwa hati nurani itu tidak bisa bohong. Memang benar. Sebab hati nurani adalah bagian di dalam diri kita yang tidak dikendalikan oleh pikiran. Ia ada di otak, tapi fungsinya tidak dikontrol oleh otak. Ia dibawah pengawasan Tuhan langsung.

Karena itu hati nurani bersifat independen. Ia lebih cenderung sebagai pengawas dan penunjuk arah bagi kita. Ketika kita melakukan sesuatu yang salah, maka nurani akan menjerit. Nah, kemampuan untuk mendengarkan jeritan hati nurani (atau dalam hal lain ilham/petunjuk/intuisi) inilah yang disebut dengan kecerdasan spiritual.

Karena kecerdasan spiritual ini tidak bisa berbohong, atau melakukan hal-hal yang tidak baik, maka kecerdasan inilah yang mutlak kita butuhkan untuk menjadikan hidup kita sukses mulia. Alih-alih memikirkan diri sendiri, kita lebih cenderung untuk memberikan manfaat untuk orang lain.

Kecerdasan Spiritual dalam Dunia Bisnis

Saya menerjemahkan kecerdasan spiritual salah satunya outcome-nya adalah memberikan manfaat untuk orang lain. Tapi tentu kecerdasan ini mencakup hal yang jauh lebih dalam dari itu. Hanya saja ini menjadi salah satu outcome yang paling riil. Dan nampaknya hal inipun menjadi fenomena dalam dunia bisnis belakangan ini.

Adalah Prof. Philip Khotler dan Hermawan Kartajaya, dua orang pakar marketing dunia, belakangan ini menulis sebuah buku yang berjudul, “Marketing 3.0”.

Inti dari buku ini adalah bahwa nampaknya strategi marketing yang ada sekarang sudah tidak lagi relevan. Saat ini muncul strategi marketing baru yang disebut “marketing nilai/value.” Yakni strategi marketing yang bukan lagi berfokus pada mengkampanyekan kelebihan, produk, perusahaan dan sebagainya. Melainkan strategi marketing yang mendahulukan nilai.

Perusahaan dituntut untuk mengkampanyekan nilai-nilai positif yang mereka lakukan untuk kepentingan sesama. Ya, kita mungkin mengenal CSR (corporate social responsibility). Tapi menurut kedua pakar tersebut, ini semua bukan tentang CSR. Tapi karena memang itu adalah nilai yang diutamakan oleh perusahaan.

Bahkan CEO General Electric Indonesia, Handry Santriago, mengaku tidak senang dengan CSR. Tapi karena memang karena kita ingin melakukan sesuatu yang bernilai.

Salah satu contoh yang paling gemilang tentang marketing nilai ini adalah AQUA. Dalam iklan-iklannya yang kita lihat setiap hari di TV, AQUA tidak lagi mengkampanyekan air mineral kemasannya. Tapi lebih banyak mengkampanyekan nilai-nilai positif yang mereka lakukan untuk membangun negeri. Misalnya mensponsori ajang pencarian bakat sepakbola anak-anak sampai ke pelosok-pelosok kampung.

Marketing Value AQUA
img from: bola.liputan6.com
Intinya perusahaan dituntut untuk memberikan kontribusi positif. Entah kepada bangsa, lingkungan, sesama, pendidikan atau apapun. Perusahaan yang gagal melakukan hal ini, akan dianggap egois, dan hanya semata-mata mencari untung.

Inilah bukti nyata crusialnya nilai penerapan kecerdasan spiritual dalam kehidupan.

Kesimpulan

Pada akhirnya, sepertinya memang ada kasta-kasta manusia dalam menggunakan pikirannya. Kasta pertama adalah mereka yang hanya menggunakan pikirannya sebagai gudang fakta. Yang kedua, adalah mereka yang menggunakan pikirannya untuk berpikir dan meraih kesuksesan. Dan kasta ketiga, yang paling tinggi adalah mereka yang menggunakan kecerdasannya untuk memberikan manfaat kepada yang lain.

Tapi ketiga kasta itu pun masih mending. Sebab belakangan saya menyadari ternyata ada orang yang berada di kasta yang lebih rendah dari yang paling rendah. Yakni ketika manusia tidak menggunakan pikirannya sama sekali.

Kemarin kebetulan saya membaca sebuah tulisan note di facebook. Tulisan itu terkesan sangat indah dan bijak. Di dalamnya diuraikan fakta-fakta tentang asal muasal penciptaan manusia. Yakni bahwa semua manusia berasal dari satu entitas yang sama, Atom.

Sehingga menurut tulisan tersebut, bahwa semua makhluk adalah sama. Tidak ada kasta yang membedakan antar-makhluk. Kita tidak lebih baik dari hewan, tumbuhan dan jin. Kita semua bersaudara.

Menurutnya, anggapan bahwa manusia adalah pemimpin bagi makhluk-makhluk ciptaan lainnya tidak bisa diterima. Sebab hanya merupakan bukti kesombongan dan delusi manusia itu semata. Karena itu, tulisan tersebut melarang seseorang untuk menyembelih hewan dan menebang pohon.

Yang unik adalah bahwa tulisan ini dipegang teguh oleh kelompok kepercayaan tertentu. Nampaknya penulis tulisan ini, serta orang-orang yang hanyut dalam konteks yang terkesan indah dan bijak, lupa bahwa manusia dihadiahkan sebuah alat, yang disebut “akal pikiran.” Yang sayangnya, tidak diberikan kepada saudara-saudara kita makhluk lain selain manusia.

Akal pikiran kita inilah yang membuat kita berbeda. Dan dengannya kita punya pilihan dan tanggung jawab yang lebih. Tulisan ini nampaknya pun hanyut dalam budaya berpikir negatif, bahwa kapanpun seseorang mendapat jenis keuntungan tertentu, (apakah berupa uang, jabatan, kekuasaan, dll) maka serta merta ia akan menjadi jahat, sombong dan lupa diri. Bukankah ada pilihan untuk menjadi pemimpin yang bijak dan bermanfaat?

Jadi kalau manusia enggan menggunakan pikirannya untuk berpikir dan memberi manfaat kepada yang lain, maka silahkan anda mengistilahkannya sendiri kastanya.

Hidup bukanlah sekedar tentang menjadi pintar atau sukses tapi juga untuk bermanfaat untuk sesama. Itulah hidup sukses mulia. Karena itu kita tetap butuh ketiga jenis kecerdasan yang ada.

IQ agar kita menjadi manusia pembelajar yang berwawasan luas. Kemudian EQ membuat kita mampu mengendalikan kondisi mental dan emosional pribadi. Sekaligus untuk berpikir dan mengambil tindakan. Sementara SQ, membimbing kita untuk memilih jalan kebenaran dan memberikan manfaat kepada yang lainnya.

Kita pintar dengan IQ. Sukses dengan EQ. dan menjadi mulia dengan SQ.

0 komentar:

Post a Comment