Ya, karena seringnya penyakit perfeksionis datang dan menghambat saya menulis, saya akhirnya benar-benar memutuskan untuk memaksa diri saya menulis. Kalau gak dipaksa gak jadi-jadi. Kadang-kadang masalah sepele saja bisa menghambat bahkan menunda kita untuk menyelesaikan tulisan.
Misalnya ketika lagi menulis buku atau ebook, kan biasanya saya kalau menulis ebook tuh perlu ada kata-kata mutiara pembuka gitu. Jadi semacam quotes. Di taroh diawal bab. Atau awal artikel. Nah karena penyakit perfeksionis, saya bisa-bisa gak jadi menulis apa-apa, gara-gara gak ketemu qoates yang cocok. Padahal sudah niat banget dari awal pengen menulis. Konsepnya juga udah lengkap. Eh.. hanya gara-gara gak nemu quotes yang cocok, batal deh tuh saya menulis.
Kan kalau begini sayang banget. Sayang idenya. Saya produktivitasnya. Nanti lama-lama pasti hilang itu ide gara-gara tidak di tulis-tulis.
Nah, jadi bener, menulis itu perlu paksaan. Kalau tidak begitu, bisa jadi kita makin tidak produktif. Justru bahaya kan.
Jangan Takut Salah!
Penyakit perfeksionis itu bagaimana sih? Ya kita pengennya sempurna terus. Segala-galanya harus ideal. Kalau gak ideal hapus, cari kalimat lain. Begitu terus. Sampai-sampai cuma sekedar mau ngomong “anu”, bisa lama banget karena cari kalimat yang paling ideal.Akhirnya saya lawan tuh penyakit perfeksionis. Gimana cara ngelawannya?
Saya terus saja menulis tanpa takut salah. Eh.. ternyata bener tulisan saya bisa jadi. Begitulah kita. Kadang bukan cuma dalam menulis saja, dalam kehidupan yang konteksnya lebih besar pun kita kerap kali begitu. Gak maju-maju gara-gara takut salah. Tidak mulai-mulai gara-gara takut tidak sempurna. Kayak bisnis, bisa tidak buka-buka gara-gara takut rugi, takut gagal, takut tidak laku.
Maka untuk mengatasi masalah tersebut, kuncinya cuma satu. Hajar saja. Seperti kata nike “Just do it!” Toh nanti bisa di edit. Iya kan? Dalam hal kehidupan atau bisnis nanti bisa diperbaiki kesalahannya. Ingat loh pikiran kita gak bisa melakukan 2 hal dalam waktu bersamaan. Nulis dan ngedit itu adalah 2 hal yang sangat berbeda. Jadi jangan lakukan keduanya bersamaan. Membuka bisnis dan memperbaiki bisnis itu dua hal yang berbeda. Jangan disatukan.
Pakai gaya paling santai anda!
Ini bener. Dulu ketika menulis saya cuma kenal satu gaya. Gaya penulisan baku seperti di pelajaran bahasa Indonesia. Kan banyak tuh waktu kita SMA, tidak bisa nulis, tidak bisa bikin artikel atau kalimat gara-gara kita terlalu terpaku sama tulisan baku. Ejaan Yang Disempurnakan. Kita pengen yang kayak di buku pokoknya.Padahal justru inilah yang menghambat kita. Akhirnya kita gak jadi-jadi. Terus tumbuh keyakinan, “Ah.. saya memang gak bisa.” Begitulah, dari hal sederhana seperti inilah yang pada akhirnya membentuk budaya kita jadi budaya “gak bisa-an”. Budaya takut salah. Akhirnya kita tidak jadi apa-apa.
Ada yang mengaku tidak bisa nulis, padalah sarjana. Kan aneh? Terus skripsinya dari mana? Sebenarnya semua orang pasti bisa nulis. Karena semua orang bisa bicara. Semua orang bisa berpikir. Yang tidak bisa itu meniru gaya tulisan orang lain. Begitu kata salah satu penulis yang saya lupa namanya.
Kalau gaya bicara anda nyablak, langsung-langsungan, ya tulislah dengan gaya bicara tersebut. Kalau sehari-hari anda ngomong minang, terus ingin menulis seperti gaya orang ambon menulis nah itu yang repot. Jadi tulislah sesuai gaya anda. Tulis saja sesantai mungkin! Jadi diri anda sendiri. Semua orang punya gaya menulisnya masing-masing. Jangan takut salah. Toh nanti bisa anda edit.
Nah sekarang, setelah ketemu dan membaca tulisan-tulisan yang out of the box seperti tulisannya Ippho santosa, Yusuf Mansyur, TDW, Jonru dll, saya jadi paham, “Oh ternyata ada ya gaya penulisan yang seperti ini.” Saya pun mencoba mengikuti. Maksudnya bukan mengikuti gaya mereka, tapi saya mengikuti pola mereka. Bahwa mereka tidak pakai EYD, mereka pakai gaya mereka sendiri. Begitupun saya. Eh ternyata bener bisa.
Begitulah pikiran kita sebenarnya bekerja. Kalau kita mau langsung sempurna gak bisa. Kenapa? sebab pikiran kita itu maunya mengalir. Begitu ada ide harusnya langsung ditulis. Lah kalau kita mau langsung sempurnakan edit di tempat, bisa keburu hilang ide-ide berikutnya. Bisa hilang kalimat berikutnya.
Tidak seharusnya kita mendikte atau membatasi pikiran kita hanya gara-gara Ejaan Yang Disempurnakan. Bagi saya sekarang EYD itu bukan lagi Ejaan Yang Disempurnakan. Tapi Ejaan Yang Ditulis. Kenapa? Ya apa yang mau disempurnakan, kalau yang ditulis saja tidak ada. Benar gak?
Eh… gak nyangka selesai juga tulisan ini. Tuh kan tanpa pakai aturan sana-sini yang mengekang, atau tanpa takut penyakit perfeksionis, tulisan bener-bener bisa jadi cuma dalam waktu tidak sampai 5 menit. Secara biasanya saya kalau menulis 1 artikel saja bisa sampai 2 jam sendiri.
Udah ya.. udah capek nih..
Eh tapi bener deh, di saat saya lagi pengen nulis tapi pengen yang sempurna, saya gak tau harus nulis apa. Sekarang giliran saya udah capek dan udah gak mau nulis, karena pakai EYD baru, Ejaan Yang Ditulis, malah ide muncul terus gak bisa berhenti. Tapi sudah lah sampai di sini saja. Lain kali saja saya lanjut ya..
0 komentar:
Post a Comment