Mengapa bisa demikian? Setidaknya yang paling umum, ada 2 penyebab utama mengapa perubahan yang kita rencanakan tidak pernah berhasil.
1. Berfokus pada kekurangan dan kesalahan menyebabkan kita semakin frustasi. Kebanyakan kita, ketika ingin melakukan suatu perubahan, kita berangkat dari pertanyaan, “Apa yang salah dengan diri saya?” atau “Apa yang kurang dari diri saya?” Dan kemudian sesaat setelah kita menemukan jawabannya, kita akan bertindak untuk memperbaiki kesalahan atau kekurangan tersebut. Begitu kan?
Ternyata, menurut para pakar prilaku (behavior expert), cara ini tidaklah efektif. Pertanyaan seperti “apa yang salah” atau “apa yang kurang”, itu membuat pikiran kita justru semakin berfokus pada masalah atau kelemahan kita. Dan semakin kita berfokus kesana maka kita akan semakin banyak melihat hal-hal yang kita fokuskan tersebut. Ujung-ujungnya frustasi!
Dulu, ketika pertama kali belajar tentang ilmu motivasi dan pengembangan diri, membuat saya benar-benar berfokus pada kekuatan yang ada dalam diri saya. Dan hasilnya sangat-sangat luar biasa saya rasakan. Perubahan itu benar-benar berdampak dan bertahan lama. Namun ketika mengalami kebangkrutan pada tahun 2010, saya pun berusaha untuk bangkit, dan berubah. Namun bedanya, kali ini saya berangkat dari pernyataan, “Apa yang salah dari diri saya?” Dalam sekejap pikiran bekerja dan memberikan jawaban. Poin-poin masalah dan kekurangan muncul satu per satu. Ini membuat pikiran saya semakin mantap mengatakan bahwa “saya dalam masalah!” Saya akhirnya berusaha untuk berubah, saya belajar lebih banyak, saya membaca buku lebih banyak. Anda tahu apa yang terjadi? Saya semakin stress. Bukannya membuat saya berubah dan menyelesaikan masalah, tapi apa yang saya lakukan ternyata justru semakin negatif. Muncul kebiasaan baru; menyalahkan. Saya menyalahkan buku yang saya baca. “Wah buku ini tidak sebagus yang saya pelajari dulu.”, “Buku ini kurang ini” dan segala macamnya.
Kenapa bisa terjadi seperti ini?
Karena kita berangkat dari masalah. Dan hasilnya kita menjadi lebih hebat dalam melihat masalah. Kisah saya benar-benar membuktikan hal ini. Dua ekstrim yang benar-benar berbeda, melakukan action yang sama, namun dengan cara yang berbeda, maka hasilnya pasti berbeda.
Dalam buku The Power of Full Angagement, Jim Loeke dan Tony Schwaltz menuliskan, “Tujuan yang digerakkan oleh munculnya perasaan kurang, mempersempit pandangan kita dan membatasi kemungkinan-kemungkinan yang kita miliki. Bayangkan anda berada di tengah lautan luas dalam sebuah perahu bocor. Tujuan anda segera diarahkan untuk menjaga perahu itu tidak tenggelam. Tapi selama anda sibuk mengeluarkan air dalam perahu, anda tidak bisa mengarahkan perahu tersebut ke suatu tujuan.”
Hasil risetpun telah banyak yang mengungkapkan bahwa dengan justru berfokus pada kelebihan orang akan mencapai sukses dengan lebih cepat dan pasti.
Begitupun dalam bidang pengembangan diri. Motivator Ippho Santosa mengajarkan agar dalam meningkatkan kualitas diri kita seharusnya berfokus pada kekuatan kita bukan pada kelemahan. Misalnya anda kurang dalam matematika, tapi anda kuat dalam bahasa. Jika diangkakan, kemampuan matematika anda 3 dan kemampuan bahasa anda 7. Jika anda berusaha untuk meningkatkan kemampuan anda dalam matematika, maka jika berhasil, anda akan mendapatkan nilai 5 dalam matematika dan tetap 7 dalam bahasa. Artinya kemampuan anda di dua bidang tersebut menjadi rata-rata. Tapi jika anda memilih untuk fokus meningkatkan kemampuan bahasa anda, dari 7 bisa menjadi 9 atau 10. Artinya, kemampuan bahasa anda menjadi diatas rata-rata. Anda menjadi ahli dalam bidang bahasa. Urusan matematika ya biar saja, nanti kita bisa pekerjakan orang yang ahli di bidangnya.
2. Cadangan energi kita tidak selamanya memadai. Rencana perubahan biasanya terjadi ketika jiwa kita sedang hidup. Entah karena termotivasi oleh buku, seminar atau film-film yang menggugah hasrat sukses. Karenanya kita menjadi menggebu-gebu saat itu. Namun seiring berjalannya waktu, dan masalah demi masalah pun datang menghampiri, membuat semangat kita perlahan-lahan menjadi habis. Dan akhirnya hasrat untuk berubah dan sukses itu benar-benar menguap.
Padahal energilah sumber daya utama kita. Bukan waktu. Jumlah waktu dalam sehari telah tetap, tapi jumlah dan kualitas energi tidaklah demikian. Karena itu yang seharusnya kita olah adalah energi kita bukan sekedar waktu kita.
Memang kebanyakan kita terlalu pandai dalam mengelola waktu, seperti jam sekian saya akan melakukan ini, kemudian itu, dan anu dan sebagainya. Tapi kita sendiri tidak sadar, apakah kita bisa memastikan bahwa pada waktu itu, kita masih punya cadangan energi? Kebanyakan tidak. Dan karena itu, manajemen waktu kita menjadi terbengkalai.
Dave Crenshaw, seorang penulis dan pakar dibidang produktifitas, mengatakan “Time Management is Dead!”
Cadangan energi kita terbatas. Roy Baumester membahasakannya dengan WillPower. Dalam bukunya, Willpower – Rediscovering the Greatest Human Strength, ia mengatakan willpower itu seperti cadangan air dalam botol. Dan ia bisa habis dengan tantangan hidup sehari-hari.
Jadi kuncinya adalah dalam mengupayakan perubahan yang ingin kita capai, bukan hanya dengan mengelola waktu, tapi lebih penting lagi mengelola energi. Mengenai bagaimana mengelola dan menjaga cadangan energi ini akan kita bahas pada tulisan yang lain.
Dua alasan utama ini benar-benar terbukti membuat banyak orang gagal dalam melakukan perubahan yang telah direncanakannya. Nah untuk itu, Motivator No. 1 Anthony Robbins mengajarkan 3 cara agar perubahan yang kita lakukan bisa langgeng dan bertahan lama dalam diri kita.
1. Selalu naikkan standar-standar anda. Jika tidak ada yang abadi selain perubahan itu sendiri, maka pun tidak ada cara untuk bertahan hidup lebih baik daripada selalu menaikkan target-target dan standar yang ingin kita capai.
2. Ubah pandangan-pandangan yang membatasi. Terutama pandangan awal bahwa perubahan harus berangkat dari premis “ada yang salah” atau “ada yang kurang” dalam diri anda. Ubah kemudian premisnya menjadi, “Diri anda telah dibekali anugerah, talenta, kemampuan yang luar biasa sekaligus keunikan yang membedakan anda dari yang lain. Dan anda hanya perlu untuk memanfaatkan itu.”
3. Lakukan dengan pendekatan-pendekatan baru. Yakni bukan lagi sekedar mengelola waktu tapi juga lebih penting lagi untuk mengelola energi. Sehingga anda bisa tahu kapan untuk jeda dan kapan untuk bekerja dengan penuh semangat. Sehingga tercapailah apa yang disebut Jim dan Tony sebagai Full Angagement (keterlibatan penuh).
Akhirnya, biarlah saya akhiri tulisan ini dengan sebuah pesan indah dari seorang Gandhi, yang mengatakan, “Kita harus menjadi perubahan yang kita inginkan!” Anda ingin berubah menjadi seperti apa? Maka jadilah seperti itu! Semoga apa yang telah dijabarkan dalam tulisan diatas bisa membantu anda melakukannya.
Dan apalagi yang bisa saya tulis selain sebuah teka-teki sederhana dan fenomenal, “Mengapa babi kalau jalan selalu merunduk?”
Saya Edward Rhidwan,
Selalu Positif, Sehat dan Powerful!
0 komentar:
Post a Comment